Minggu, 15 Januari 2017

ABSTRAK

Tesis ini berjudul ”Posisi dan Kontribusi Habib Ali Kwitang dalam Penyebaran Islam di Tanah Betawi”. Terpilihnya Habib Ali Kwitang sebagai bahan penelitian tesis ini karena beliau salah satu ulama keturunan Hadramaut yang lahir di tanah Betawi dan memiliki peran yang sangat signifikan dalam penyebaran Islam di tanah tempat ia dilahirkan.
Penelitian ini sependapat dengan Ahmad Fadli HS dalam tesisnya, ”Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20)”, di mana pada tesis tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan tentang keberadaan ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah dan terjalin jaringan intelektual guru-murid (Intellectual Genealogy) di antara mereka. Dalam tesis ini penulis akan mencoba menguraikan jaringan intelektual yang terbentuk antara Habib Ali Kwitang dengan guru dan para muridnya, baik yang berada di luar maupun di dalam negeri. Sehingga terjalin jaringan ulama di nusantara yang termasuk di dalamnya para ulama Betawi.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ditinjau dari segi sumber merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mengungkap peran Habib Ali Kwitang dengan menggunakan analisis kualitatif.
Tesis ini menunjukkan bahwa posisi dan kontribusi Habib Ali Kwitang sebagai pendorong, penasihat dan peran aktifnya dalam kancah pergerakan kemerdekaan dan organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan sangat dominan. Di antara peran aktif itu adalah beliau ikut mendorong berdirinya partai politik yang berazaskan Islam pertama kali di Indonesia yang dikenal dengan Partai Syarikat Islam (PSII) pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim (teman seperjuangan beliau ketika sama-sama dijebloskan penjara oleh tentara pendudukan Jepang). Beliau ikut mendirikan Perkumpulan Jamiyatul Khair pada tahun 1901, yaitu organisasi yang berorientasi kepada pendidikan Islam yang formal dan modern. Beliau juga turut mendirikan Rabithah Alawiyah di tahun 1928, yaitu sebuah organisasi yang bertujuan mencari dan menjaga sanad keturunan keluarga Rasulullah SAW.
Kontribusi lain dari Habib Ali Kwitang terhadap Islamisasi di tanah Betawi di antaranya pertama, dengan mendirikan majelis taklim pertama yang pernah ada di tanah Betawi dan dari sinilah cikal bakal berdirinya majelis-majelis taklim di Nusantara. Kedua, Beliau juga mendirikan madrasah modern kedua – setelah Jamiyatul Khair, Tanah Abang, Jakarta Pusat – di kalangan masyarakat Betawi yang bernama Madrasah Unwanul Falah. Ketiga, di mana masjid yang juga menjadi salah satu simbol eksistensi ajaran Islam di satu tempat oleh Habib Ali Kwitang juga didirikan. Keempat, kiprah lain yang tak bisa dipungkiri dari kontribusi beliau adalah dakwah bil lisan yang kerap dilakukan oleh Habib Ali Kwitang yang disebut dengan tasuwir/ taswiran yang pada zaman itu begitu sangat memukau siapa pun yang mendengarnya. Ajaran-ajaran Islam yang disampaikan melalui pidato-pidato beliau sangat mudah diserap oleh berbagai kalangan tua maupun muda. Kelima, melalui karya-karya tulis beliau yang berisi sejarah dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulan terakhir bahwa Habib Ali Kwitang dalam jaringan ulama Nusantara memiliki posisi dan kontribusi yang sangat signifikan di dalamnya dengan terbentuknya proses jaringan intelektual guru-murid (Intellectual Genealogy) yang tersebar di berbagai daerah dan negara, baik di tanah Betawi sendiri maupun di daerah atau negara lain.

Kata kunci: Peran – Kontribusi – Habib Ali Kwitang


Selasa, 17 November 2015

Tak bisa sembarang orang menafsirkan Al-qur'an





SYARAT MENAFSIRKAN AL-QUR’AN



Seperti kita ketahui bahwa yang diberi wewenang menafsirkan kitab suci adalah Nabi Muhammad (QS. 16:44). Namun dalam perjalanan dakwah dan dengan semakin berkembangnya umat Islam, yang di abad meodern ini telah mencapai sepertiga penduduk dunia; maka jelas tidak mungkin menafsirkan Al-Qur’an ha-nya dilakukan Nabi Muhammad sendiri.

Oleh karena itu beliau meminta umat untuK bertindak mewakilinya dalam melaksanakan tugas mulia itu seperti ditegaskannya: “Sampaikan kepada umat sebagai ganti dariku walaupun satu ayat” (HR. Bukhari). Namun beliau mewanti-wanti jangan sampai terjadi penafsiran yang tidak sejalan dengan visi dan misi risalah yang beliau emban.
Saking berhati-hatinya beliau sampai-sampai meng-ancam dengan masuk neraka bagi mereka yang berani melakukan penafsir-an yang tidak sesuai dengan kesucian risalah yang dibawanya seperti dikatakannya: “Siapa pun yang [berani] berkata berkenaan dengan Al-Qur’an berdasarkan pemikirannya semata, maka silahkan dia menduduki kursinya dari api neraka” (HR. Al-Tirmidzi).
Jelaslah bahwa para mufasir dalam menafsirkan kitab suci hanya beritndak seba-gai wakil atau badal dari Nabi saw. Oleh karena itu mereka tidak boleh berbuat sesuka hati tanpa mengikuti aturan dan tata cara yang benar sesuai petunjuknya.
Dari uraian di atas paling tidak ada lima kriteria pokok dalam menafsirkan kitab suci sebagai berikut:
1. Didasarkan pada argumen yang valid
2. Jauh dari nuansa emosional subyektif (individual atau kelompok)
3. Menonjolkan pemikiran rasional dan objektif.
4. Tidak bertentangan atau menyimpang dari pemahaman ayat-ayat  Al-Qur’an dan hadis-hadis yang shahih.
5. Tidak bertentangan atau menyeleweng dari pemahaman dan kaedah bahasa Arab yang berlaku (mu’tabarah).
Dalam proses penafsiran ada tiga metode atau metodologi yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Nashruddin Baidan, yaitu:
1) Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an;
2) Al-Qur’an dengan Hadis;
3) Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat.

Nashruddin Baidan, Penafsiran Sektarian dan Dampaknya di Tengah Masyarakat, dalam 2nd Annual Meeting Qur’an and Hadith Academic Society (QUHAS), tt., (Jakarta: UIN, 2012)



Senin, 16 November 2015

Sang Kyai pewaris para Nabi

Nah, Ini 5 Ciri Kyai Sejati
Datdut.Com – Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren, saya sempat mengamati dan menyimpulkan lima kesamaan ciri yang selalu ditemui pada sosok panutan yang disebut dan digelari di kalangan pesantren sebagai “kyai”. Saya perlu menulis tentang ini karena sepertinya sudah ada kesalahan cara pandang tentang siapa orang yang disebut kyai. Orang yang layak disebut kyai bukan yang sekadar tampil di TV yang dikawal oleh para santri, pakai jubah dan gamis dengan sorban berlapis-lapis. Kyai adalah gelar yang diberikan masyarakat yang ikhlas tanpa pamrih. Kyai tidak patut disandang oleh orang yang mengkyaikan dirinya sendiri. Kyai adalah orang yang punya ciri-ciri berikut ini:
1. Istikamah
Sifat ini bisa dilihat saat beliau-beliau rutin mengajar, tak mau ingkar janji, dan selalu ada di barisan saat salat berjamaah. Nah, ini jadi ciri penting seorang kyai, karena istikamah kata para ulama lebih mulia daripada seribu karamah.
2. Salat berjamaah
Kyai sejati selalu menjaga bukan hanya salat lima waktu tetapi menjaganya dengan berjamaah. Soal ini persis seperti dikatakan Kyai Buya Dimyati Banten saat ditanya apa tarekat yang diikutinya. “Tarekatku adalah salat berjamaah dan ngaji,” jawabnya.
3. Mengaji
Selain kebiasaan salat berjamaah, mereka juga mengistikamahkan membaca kitab kuning atau buku hingga tamat alias khatam. Apa yang dilakukan tersebut sebetulnya mengamalkan apa yang menjadi pesan para ulama, “Hayatul ilmu al–murajaah.” Artinya kurang lebih begini: kalau mau ingin ilmunya terus menerangi, caranya ya dengan rajin menelaah.
4. Menulis
Kebanyakan kyai sadar betul betapa pentingnya sebuah karya tulis. Maka mereka selalu menyempatkan menulis artikel, opini, dan buku, bahkan di antara mereka ada yang pandai menulis puisi, narasi drama, dan novel. Pesan Kyai Ali Mustafa Yaqub kepada santri-santrinya yang senantiasa digaungkan dan meresap ke hati mereka adalah “wala tamutunna illa wa antum katibun”. Jangan meninggal sebelum punya karya tulis.
5. Turba (Turun ke Bawah)
Selain keistikamahan mengajar, menulis dan ibadah mahdah, mereka juga istikamah memberdayakan wong cilik atau umat yang tinggal di sekitar pesantren. Caranya dengan bersinergi menyediakan fasilitas-fasilitas dan pelatihan-pelatihan keterampilan, usaha, dan pengembangan ekonomi. Gunanya yang utama, ya ikut menyumbangkan pemecahan masalah umat.
Sebagai catatan, semua itu dilakukan dengan berinteraksi secara santun, dengan teladan dan akhlak mulia, yang tercermin baik dalam perkataan, tindakan maupun sikap. Bagi kyai sejati, pesantren bukanlah menara gading. Pesantren malah menjadi sarana untuk berkarya dalam bingkai hablun minnallah wa hablum minan nas atau membina hubungan baik dengan Allah dan manusia. Muaranya adalah meraih rida Allah.[]
Description: alvianKontributor: Alvian Iqbal Zahasfan | Santri Ponpes Nurul Jadid Paiton-Probolinggo, Ponpes Al-Ghazali Karangrejo-Tulung Agung, PIQ Singosari-Malang, Al-Ma’had Darus Sunnah Al-‘Dauli li Ulumil Hadis Ciputat.


Poligami yang sesungguhnya

Hikayat Hati Istri yang Dipoligami


Ia janji tak akan berpoligami. Komitmen untuk tak mendua istri yang juga sepupunya itu terlanjur diumbar. Tapi sumpah setia goyah ketika seorang perempuan datang ke sebuah toko miliknya.

Lelaki Baghdad ini sempat memberitahu tamu perempuannya tentang janjinya kepada sang istri untuk tidak berpoligami. Tidak mundur, perempuan tersebut malah mendesak. Ia bahkan mengatakan rela digilir seminggu sekali setiap Jumat.

Sumpah setia yang kadung terucap pun runtuh. Si lelaki menikahinya, tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Hingga delapan bulan, istri pertama yang curiga meminta pembantunya memata-matai sang suami ke mana pun ia pergi. Hingga si pembantu mengetahui lelaki itu masuk sebuah rumah berpenghuni perempuan, lalu mencari kabar dari tetangga sekitar yang segera memberitahu bahwa mereka sudah menikah. Dilaporkanlah berita panas ini kepada sang majikan.

Tak disangka usai mendengar informasi tersebut sang majikan malah berujar, "Jangan engkau beritahukan kepada siapapun."

Setelah lelaki itu meninggal dunia, istri pertama menyuruh pembantunya untuk memberikan uang sebesar 500 dinar kepada istri kedua. "Semoga Allah mengganjarmu dengan pahala melimpah sehubungan dengan kematian suamimu. Suamimu telah wafat dan meninggalkan uang sebanyak 8.000 dinar. Yang 7.000 dinar untuk putranya, dan yang 1.000 dinar dibagi dua: separuh untukku dan separuh lagi untukmu."

Usai pembantu menyampaikan pesan sang majikan, istri kedua lantas menulis surat, lalu berkata, "Sampaikan surat ini kepada istri pertama." Surat itu ternyata berisi pembebasan mas kawin bagi suaminya dan si istri kedua tidak mengambil apa-apa.

Kisah yang disampaikan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Uqûdul Lujjain ini bercerita tentang sikap ingkar janji yang dilakukan seorang suami. Kita tahu, Islam menilai perilaku ini bagian dari ciri orang munafik. Perilaku istri kedua yang memberi jalan pelanggaran itu juga tak semestinya dilakukan, meski belakangan ia menunjukkan tanda-tanda penyesalan.

Yang luar biasa tentu ketegaran istri pertama. Air tuba dibalas air susu. Atas pengkhianatan itu, ia memilih sikap kuat, dan diam dari hak protes keras yang mungkin bakal memporakporandakan rumah tangganya. Ia juga mampu tetap berlaku adil dengan menyerahkan hak perempuan yang sudah terlanjur dinikahi suaminya. (Mahbib)

Islam Nusantara di mata KH Mustafa Yaqub

5 Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal Bercorak Islam Nusantara
DatDut.Com – Nama Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA., belakangan ramai sekali diperbincangkan dalam berbagai media sosial. Tidak lagi soal kunjungan Obama ke Masjid Istiqlal atau seputar polemik Rukyatul Hilal, tetapi ini terkait dengan tema Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) mendatang di Jombang. Tema yang dimaksud tentulah “Islam Nusantara”. Ya, istilah yang akhir-akhir ini tiba-tiba begitu ngetrend khususnya di dunia maya.
Dalam hal ini, Imam Besar Masjid Istiqlal diberitakan oleh berbagai media online menolak istilah tersebut. Bahkan, seringkali dipahami bahwa beliau yang juga menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU Komisi Fatwa menolak tema Muktamar NU yang dibuat oleh sejumlah tokoh NU yang lain. Lebih parahnya lagi, hal tersebut diartikan sebagai sebuah indikasi “perpecahan” di tubuh NU. Hm.. Jangan-jangan, kesimpulan yang seperti ini yang dikehendaki oleh media-media yang selalu memberi judul provokatif untuk pemberitaan tersebut?
Nah, sebelum kita terbawa dan tersulut oleh judul yang dimunculkan, ada baiknya kita baca dulu isinya dengan tuntas. Setidaknya, dengan begitu, kita akan lebih tercerahkan, bahwa Pak Kiai sebenarnya tidak menolak Islam Nusantara. Beliau hanya menyoal bagaimana esensinya? Dan, dengan perincian yang disebutkannya, dapat diketahui bahwa beliau sepakat dengan ide yang diusung oleh tema tersebut. Bahkan, sejak jauh-jauh hari, telah banyak “fatwa” beliau yang bernafaskan Islam Nusantara. Berikut 5 contoh di antaranya:
1. Dakwah Islam harus berkearifan lokal
Dalam sebuah Seminar Nasional bertema Studi Islam Kontekstual yang diselenggarakan oleh Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta pada 24 Maret 2014, Imam Besar Masjid Istiqlal turut diundang menjadi salah seorang narasumber. Di tengah pemaparannya mengenai Pemahaman Hadis Kontekstual, beliau sempat menyampaikan beberapa poin penting terkait hubungan agama dengan budaya atau tradisi, antara lain, bahwa dakwah Islam haruslah berkearifan lokal. Menurutnya, andaikan para pembawa dan penyebar Islam ke tanah Jawa (Indonesia), dalam hal ini Walisongo, tidak luwes dalam menyikapi tradisi-tradisi lokal, niscaya ajaran Islam yang mereka dakwahkan tidaklah mudah diterima oleh masyarakat kala itu. Karena itulah mereka tidak serta-merta mungusik tradisi yang ada.
“Hal-hal yang bersifat budaya (kultural) tidak langsung dihilangkan, sepanjang hal itu tidak merupakan akidah dan ibadah, maka para wali menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan adaptif dengan budaya-budaya Jawa” (Setan Berkalung Surban, 15). Lebih jauh lagi, para wali bahkan menghormati pemeluk agama lain. Terbukti dengan kesediaan mereka yang bermukim di Kawasan Utara Jawa Tengah, untuk tidak menyembelih dan atau mengonsumsi daging sapi atau kerbau dengan alasan agar tidak menyakiti hati masyarakat yang waktu itu masih banyak yang memeluk agama lain (Hindu). Selain dalam seminar tersebut, pandangan beliau ini juga sering diungkapkan dalam berbagai ceramah dan tulisan.
2. Tidak harus budaya Arab
Tentang hal ini, saya kutipkan ungkapan Pak Kiai yang memuji pola dakwah para wali yang tidak memaksakan budaya Arab. “Kendati mereka (para wali) banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta-merta mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak menggantinya dengan budaya Arab.”
Lebih lanjut, Pak Kyai mengatakan, “Bagi para dai, bangunan itu bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budaya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman kepada masyarakat Jawa.”
Beliau juga sempat mengkritik pola dakwah para dai belakangan, “Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.” (Setan Berkalung Surban, 111-112).
3. Tidak mudah mengkafirkan dan membidahkan
Menanggapi fenomena gerakan kaum takfiri, yang sangat mudah sekali menuduh kafir dan bidah sesama muslim hanya karena perbedaan pandangan dalam pola keberagamaan yang tidak prinsipil, Pak Kiai menegaskan, “Menuduh sesama muslim sebagai kafir akan berkonsekuensi sangat berbahaya, karena bisa jadi justru yang menuduhlah yang menjadi kafir. Demikian pula menuduh sesama muslim sebagai pelaku bidah. Apabila orang yang dituduh sebagai pelaku bidah itu tidak melakukan bidah, maka justeru yang menuduhlah yang menjadi pelaku bidah. Maka menuduh sesama muslim sebagai pelaku syirik, pelaku bidah, dan sebagainya sangat perlu dihindari, kecuali dia sudah jelas melakukan perbuatan-perbuatan itu.”
“Untuk memperbaiki perilaku sesama muslim yang dinilai masih belum sesuai dengan ajaran Islam, hindarilah menggunakan kata-kata bidah, syirik, atau kafir. Sebab ternyata ungkapan-ungkapan ini tidak efektif untuk memperbaiki perilaku itu. Gunakanlah kata-kata lain yang tidak menyinggung perasaan dan meresahkan, lanjutnya.” (Makan Tak Pernah Kenyang, 36-38).
4. Anti anarkisme, radikalisme, dan terorisme
Rasanya sudah umum diketahui bahwa Pak Kiai termasuk salah seorang tokoh ulama Nasional yang anti segala bentuk tindakan anarkis, radikal, dan teror. Lebih-lebih bila diatasnamakan “agama”, padahal sama sekali tidak merepresentasikan pengamalan ajaran agama. Menyikapi berbagai aksi kekerasan yang berdalih amar makruf-nahi munkar, beliau menyatakan bahwa aksi tersebut di antara penyebabnya adalah pemahaman yang tidak tepat tentang ajaran agama itu sendiri.
Menurut beliau, berdasarkan kode etik yang dirumuskan beberapa ulama klasik, termasuk Imam Ghazali, bahwa tugas ulama hanyalah sebatas memberi pencerahan dan penyuluhan dengan menunjukkan kepada umat bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk, sehingga dengan demikian mereka dapat menganjurkan atau melarang melakukannya.
Adapun pemberian sanksi dan eksekusi hukuman fisik untuk para pelanggarnya sudah di luar tugas mereka dan masuk dalam wewenang penegak hukum atau pemerintah. Selain itu, amar makruf- nahi munkar hanya dilakukan sejauh tidak menimbulkan kemungkaran baru. Karena itu, anarkisme, radikalisme, dan terorisme yang dipahami sebagai bentuk amar makruf-nahi munkar senyatanya justru merupakan suatu kemungkaran tersendiri yang menjadi tugas para ulama untuk meluruskannya.
5. Dari surban dan jubah hingga tradisi doa simbolik
Terkait surban dan jubah, mula-mula Pak Kiai menyatakan bahwa surban dan jubah bukanlah bagian dari “agama” yang harus diikuti. Akan tetapi keduanya merupakan bagian dari budaya yang pada masa Nabi juga dikenakan oleh orang-orang non Muslim. Memakainya, menurut beliau, memiliki status hukum bercabang. Bisa jadi dianjurkan (mustahab), yakni apabila surban menjadi simbol pakaian ulama dalam tradisi suatu masyarakat tertentu. Bahkan bisa jadi hukumnya haram, yakni bila sorban tidak mentradisi pada suatu masyarakat sehingga memakainya dianggap “nyeleneh”, apalagi bila berorientasi popularitas.
Nah, yang seperti ini termasuk dalam kategori pakaian syuhrah (ada unsur biar terkenal, Red.) yang diharamkan. Oleh karena itu, untuk konteks Nusantara saat ini, Pak Kiai lebih menganjurkan memakai batik daripada jubah. Bahkan batik itulah kesunnahannya. Karena menyesuaikan tradisi setempat sejauh tidak bertentangan dengan syariat merupakan bagian dari spirit keberagamaan ala Nabi Saw.
Banyak sekali sebetulnya pembelaan Pak Kiai terhadap tradisi-tradisi lokal yang dituduh syirik dan bidah oleh sebagian kaum takfiri yang mengaku-ngaku sebagai Salafi. Seperti kasus berdoa dengan simbol.
Seorang bernama Ahmad Fauzi bertanya kepada Pak Kiai tentang sebuah tradisi Jawa, bahwa kerapkali orang yang membakar batu bata menancapkan lidi yang di ujungnya ditancapkan cabe merah. Apakah perbuatan itu syirik? Pak Kiai Menjawab, “Bila orang itu meminta kepada lidi dan cabe merah agar tidak menurunkan hujan, maka perbuatan ini jelas-jelas syirik.. Namun bila ia tetap berdoa pada Allah, misalnya dengan kalimat, “Ya Allah yang memerahkan cabe ini, merahkanlah batu bata yang sedang saya bakar,” maka tidak tergolong musyrik. Karena ia tetap meminta pada Allah Swt. hanya saja disertai simbol.” (Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, 65-66).
Dalam hal ini, Pak Kiai berdalil menggunakan hadis Bukhari terkait pemutaran selendang dalam praktik salat istisqa, hadis terkait penengadahan telapak tangan saat berdoa, dan beberapa hadis yang lain. Kesemuanya menunjukkan bahwa berdoa dengan simbol telah ada pada masa Nabi, bahkan dilakukan oleh beliau. Dalam masyarakat kita, doa simbolik ini telah sedemikian mentradisi, seperti menaruh buah kelapa saat membangun rumah atau dalam acara pernikahan, yang merupakan simbol doa agar penghuninya atau kedua mempelai dapat memberi manfaat sosial sebanyak-banyaknya, sebagaimana kelapa yang segala unsurnya dapat dimanfaatkan.

Nah, bila kearifan lokal semacam ini yang menjadi bagian dari ide yang diusung oleh istilah “Islam Nusantara”, maka masihkan Imam Besar Masjid Istiqlal dianggap anti Islam Nusantara? Silakan menilai dengan hati yang suci, sesuci bulan Ramadan ini.